Kemarin gue dicurhatin temen gue yang kuliah di luar negeri. Dia kuliah di
Kutub Utara mengambil jurusan insinyur es serut. Nah, dia curhat tentang segala
kekurangan yang dia rasakan dalam hidupnya. Dia merasa hidupnya itu penuh
kekurangan banget. Dia mengeluhkan tentang warna cat rambutnya yang nggak bener
kek, berat badannya yang naik 5 ons kek, atau orang tuanya ternyata bukan David
dan Victoria Beckham kek. Hal itu bikin gue ngerasa kesal, menahan amarah, lalu
setiap kali dia menambahkan keluhan-keluhan hidupnya, gue ketiduran.
Gue kesal sama nih anak, di mata gue hidupnya itu udah
enak banget. Bisa kuliah di luar negeri, di saat banyak orang yang pengin ke
sana dan nabung seumur hidupnya pun nggak cukup dana. Dia ngeluhin soal
penampilannya yang menurut gue udah jauh lebih cantik daripada cabe-cabean yang
nongkrong di fly-over manapun. Dia ngeluhin soal keluarganya yang masih utuh di
saat di luar sana masih banyak anak-anak yang sejak lahir udah diasuh sama
tempat sampah.
Terus gue keinget kata temen gue, ipang, "Jangan
membandingkan main-stage seseorang dengan backstage lo." Maksudnya gini,
apa yang kita liat dari orang lain itu adalah apa yang mereka sengaja
perlihatkan kepada dunia, dan itulah yang dimaksud main-stage. Sedangkan apa
yang nggak bisa kita liat dari orang lain, atau yang kita simpan sendiri itu
yang dianalogikan sebagai back-stage.
Kesenangan orang, kesuksesan orang, itu adalah
main-stage yang bisa kita lihat dari mereka. Kita nggak tau keadaan back-stage
mereka di sana. Kita nggak tau seberapa banyak hal yang harus mereka lakuin dan
korbanin sebelumnya buat ngedapetin itu semua. Seperti quote yang pernah gue
dengar, "Success is like being pregnant. So many people can see it, but
they don't know how many times we were f*cked."
Sedangkan yang kita tau dari diri kita adalah
back-stage kita. Kita udah tau seberapa hebat kita berusaha untuk memperbaiki
karier, tapi hasilnya gitu-gitu aja. Nah, kita nggak boleh ngebandingin
main-stage orang dengan back-stage kita, karena hal itu bakal bikin kita
semakin down. Kalo mau adil, bandingin dong back-stage kita sama back-stage
orang, terus baru deh diliat apakah dengan usaha kita itu, kita layak punya
main-stage sesuai dengan back-stage yang ada?
Membanding-bandingkan diri dengan orang yang lebih
bersinar, akan membuat kita merasa semakin redup. Sama kayak bulan, di malam
hari, dia sangat indah dan dipuja oleh jutaan manusia. Tapi di siang hari, sedikit
orang yang tertarik untuk melihat pucat wajahnya, karena matahari bersinar
lebih terang darinya. Tapi apakah bulan layak untuk bersedih? Tidak. Bulan akan
kembali indah di saat malam tiba, karena memang di sanalah tempatnya dia
berjaya. Harusnya bulan hanya keluar di saat malam, dan membiarkan matahari
bersinar sendiri di siang hari. Ya, dari analogi itu, intinya tidak ada manusia
yang bisa bahagia di segala keadaan. Seperti sang bulan, dia tidak bisa jadi
indah di semua suasana. Jadi, keindahan itu tercipta saat ada perpaduan yang
sempurna dari obyek dan sikonnya.
Membanding-bandingkan diri adalah salah satu ciri
orang yang tidak bahagia. Kenapa? Karena dengan membanding-bandingkan diri,
artinya dia tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Lalu bagaimana agar kita
bisa selalu bahagia?
Cara paling mudah untuk bahagia buat gue adalah,
bersyukur. Iya, gue tau, ini klise. Tapi hal seklise ini pun masih sedikit
buanget orang yang bisa mengerti apalagi menjalani. Kadang lucu juga di saat
semua orang berteriak, mengatakan "Hidup ini nggak adil!". Bukankah
di saat semua orang mengatakan hidup ini nggak adil, itu justru berarti hidup
ini sudah cukup adil? Semua orang diberiNYA kekurangan, semua orang diberiNYA
kelebihan. Itulah bukti keadilan.
Masalahnya bagi manusia adalah, ada yang tidak setuju
dengan kekurangan yang mereka miliki, dan ada juga yang tidak setuju dengan
kelebihan yang mereka miliki. Sehingga mereka menganggap hidup ini nggak adil.
Siapakah orang-orang yang menganggap hidup ini nggak adil? Mereka yang lupa
cara bersyukur. Mereka yang tidak bisa bahagia dengan hidup mereka. Orang-orang
yang ingin jadi matahari di siang hari, dan jadi bulan di malam hari. Mereka
adalah bulan yang datang di siang hari dan selalu melihat matahari, kemudian
emosi. Harusnya mereka sadar, bila bulan itu datang di malam hari, sinar bulan
tidak ada yang menyaingi, bahkan bulan mampu membuat jutaan bintang mungkin
merasa iri.
So, menurut gue semua orang bisa bahagia, semua orang
bisa berjaya, asal tau di mana dia harus membawa dirinya. Misalpun dia anak
seorang menteri, tapi kalo dia nongkrongnya sama anak milyarder yang ngupil aja
pake emas batangan, dia bakal selalu ngerasa hidupnya mengenaskan karena dia
kalah bersinar di antara temen-temennya. Tapi misal dia mau nongkrong sama
teman-teman yang mungkin secara finansial berada di bawahnya, pasti dia bakal
bersyukur dengan apa yang dia miliki. Seperti bulan, yang bersyukur bahwa dia
lebih besar dan bersinar lebih terang di antara jutaan bintang.
Kesimpulannya, saat kita ngerasa nggak bahagia sama
hidup kita, itu bukan salah takdir. Tapi salah kita memilih lingkungan, salah
kita memilih timing, dan salah kita lupa bersyukur. Kalo elo ngerasa hidup elo
berat, cobalah untuk melihat ke bawah, dan elo bakal nyadar, di bawah lo masih
banyak orang yang pengin punya beban seringan elo.
Mengeluh tidak akan memperbaiki keadaan. Semakin kita
mengeluh, hidup bakal berasa semakin berat. Berprasangka baiklah kepada Tuhan,
niscaya hidup akan terasa lebih ringan. Percaya aja bahwa semua keputusanNYA
itu sudah yang terbaik bagi kita. Please remember, positive thinkers have
positive life. Negative thinkers have negative life as well.:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar