Kamis, 08 Januari 2015

Tentang Kebahagiaan



Kemarin gue dicurhatin temen gue yang kuliah di luar negeri. Dia kuliah di Kutub Utara mengambil jurusan insinyur es serut. Nah, dia curhat tentang segala kekurangan yang dia rasakan dalam hidupnya. Dia merasa hidupnya itu penuh kekurangan banget. Dia mengeluhkan tentang warna cat rambutnya yang nggak bener kek, berat badannya yang naik 5 ons kek, atau orang tuanya ternyata bukan David dan Victoria Beckham kek. Hal itu bikin gue ngerasa kesal, menahan amarah, lalu setiap kali dia menambahkan keluhan-keluhan hidupnya, gue ketiduran.

Gue kesal sama nih anak, di mata gue hidupnya itu udah enak banget. Bisa kuliah di luar negeri, di saat banyak orang yang pengin ke sana dan nabung seumur hidupnya pun nggak cukup dana. Dia ngeluhin soal penampilannya yang menurut gue udah jauh lebih cantik daripada cabe-cabean yang nongkrong di fly-over manapun. Dia ngeluhin soal keluarganya yang masih utuh di saat di luar sana masih banyak anak-anak yang sejak lahir udah diasuh sama tempat sampah.

Terus gue keinget kata temen gue, ipang, "Jangan membandingkan main-stage seseorang dengan backstage lo." Maksudnya gini, apa yang kita liat dari orang lain itu adalah apa yang mereka sengaja perlihatkan kepada dunia, dan itulah yang dimaksud main-stage. Sedangkan apa yang nggak bisa kita liat dari orang lain, atau yang kita simpan sendiri itu yang dianalogikan sebagai back-stage.

Kesenangan orang, kesuksesan orang, itu adalah main-stage yang bisa kita lihat dari mereka. Kita nggak tau keadaan back-stage mereka di sana. Kita nggak tau seberapa banyak hal yang harus mereka lakuin dan korbanin sebelumnya buat ngedapetin itu semua. Seperti quote yang pernah gue dengar, "Success is like being pregnant. So many people can see it, but they don't know how many times we were f*cked."

Sedangkan yang kita tau dari diri kita adalah back-stage kita. Kita udah tau seberapa hebat kita berusaha untuk memperbaiki karier, tapi hasilnya gitu-gitu aja. Nah, kita nggak boleh ngebandingin main-stage orang dengan back-stage kita, karena hal itu bakal bikin kita semakin down. Kalo mau adil, bandingin dong back-stage kita sama back-stage orang, terus baru deh diliat apakah dengan usaha kita itu, kita layak punya main-stage sesuai dengan back-stage yang ada?

Membanding-bandingkan diri dengan orang yang lebih bersinar, akan membuat kita merasa semakin redup. Sama kayak bulan, di malam hari, dia sangat indah dan dipuja oleh jutaan manusia. Tapi di siang hari, sedikit orang yang tertarik untuk melihat pucat wajahnya, karena matahari bersinar lebih terang darinya. Tapi apakah bulan layak untuk bersedih? Tidak. Bulan akan kembali indah di saat malam tiba, karena memang di sanalah tempatnya dia berjaya. Harusnya bulan hanya keluar di saat malam, dan membiarkan matahari bersinar sendiri di siang hari. Ya, dari analogi itu, intinya tidak ada manusia yang bisa bahagia di segala keadaan. Seperti sang bulan, dia tidak bisa jadi indah di semua suasana. Jadi, keindahan itu tercipta saat ada perpaduan yang sempurna dari obyek dan sikonnya.

Membanding-bandingkan diri adalah salah satu ciri orang yang tidak bahagia. Kenapa? Karena dengan membanding-bandingkan diri, artinya dia tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Lalu bagaimana agar kita bisa selalu bahagia?

Cara paling mudah untuk bahagia buat gue adalah, bersyukur. Iya, gue tau, ini klise. Tapi hal seklise ini pun masih sedikit buanget orang yang bisa mengerti apalagi menjalani. Kadang lucu juga di saat semua orang berteriak, mengatakan "Hidup ini nggak adil!". Bukankah di saat semua orang mengatakan hidup ini nggak adil, itu justru berarti hidup ini sudah cukup adil? Semua orang diberiNYA kekurangan, semua orang diberiNYA kelebihan. Itulah bukti keadilan.

Masalahnya bagi manusia adalah, ada yang tidak setuju dengan kekurangan yang mereka miliki, dan ada juga yang tidak setuju dengan kelebihan yang mereka miliki. Sehingga mereka menganggap hidup ini nggak adil. Siapakah orang-orang yang menganggap hidup ini nggak adil? Mereka yang lupa cara bersyukur. Mereka yang tidak bisa bahagia dengan hidup mereka. Orang-orang yang ingin jadi matahari di siang hari, dan jadi bulan di malam hari. Mereka adalah bulan yang datang di siang hari dan selalu melihat matahari, kemudian emosi. Harusnya mereka sadar, bila bulan itu datang di malam hari, sinar bulan tidak ada yang menyaingi, bahkan bulan mampu membuat jutaan bintang mungkin merasa iri.

So, menurut gue semua orang bisa bahagia, semua orang bisa berjaya, asal tau di mana dia harus membawa dirinya. Misalpun dia anak seorang menteri, tapi kalo dia nongkrongnya sama anak milyarder yang ngupil aja pake emas batangan, dia bakal selalu ngerasa hidupnya mengenaskan karena dia kalah bersinar di antara temen-temennya. Tapi misal dia mau nongkrong sama teman-teman yang mungkin secara finansial berada di bawahnya, pasti dia bakal bersyukur dengan apa yang dia miliki. Seperti bulan, yang bersyukur bahwa dia lebih besar dan bersinar lebih terang di antara jutaan bintang.

Kesimpulannya, saat kita ngerasa nggak bahagia sama hidup kita, itu bukan salah takdir. Tapi salah kita memilih lingkungan, salah kita memilih timing, dan salah kita lupa bersyukur. Kalo elo ngerasa hidup elo berat, cobalah untuk melihat ke bawah, dan elo bakal nyadar, di bawah lo masih banyak orang yang pengin punya beban seringan elo.

Mengeluh tidak akan memperbaiki keadaan. Semakin kita mengeluh, hidup bakal berasa semakin berat. Berprasangka baiklah kepada Tuhan, niscaya hidup akan terasa lebih ringan. Percaya aja bahwa semua keputusanNYA itu sudah yang terbaik bagi kita. Please remember, positive thinkers have positive life. Negative thinkers have negative life as well.:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar